ASPEK KESOPANAN BAHASA JAWA DALAM CERITA PENDEK “RAMA-SINTA MOKSA”  KARYA WIDODO

NUR LAILIS SA’ADAH, S.Pd

SMK Taruna Jaya Prawira Tuban, Jl. DR. Wahidin Sudiro Husodo, Tuban

10 Oktober 2021

Abstrak

The goal of this research is to analyze  the politenss aspect in Javanese utterances of Widodo’s Rama-Sinta Moksa in an informal context and in a formal context. Based on the data analysis. After analyzing, it is found that the Javanese’s utterances of Widodo’s Rama-Sinta Muksa use some politeness aspect. It is found on the analysis that the inferior people tend to use negative politeness and deference strategy to the superior or older people in formal and non-formal context. The superior people tend to use positive politeness to the inferior people in non formal occasion. On the other occasion, the modesty, agreement and approbation maxims are maintained to be used in having communication. The witer concudes that the characters tend to respect the speaking partner and also tend to maintain the praise of other in line with the social distance and status difference.

Key words: Politeness aspect, javaness utterances

Download This Article

Dalam jurnal ini, penulis menganalisis aspek kesopanan dalam bahasa Jawa pada cerita pendek Rama-Sinta Moksa karya Widodo dalam situasi formal dan situasi tidak formal.  Setelah menganalisis data, penulis menemukan bahwa bahasa Jawa dalam cerita Rama-Sinta Moksa karya Widodo menggunakan beberapa aspek kesopanan. Dalam Analisis ditemukan bahwa orang yang mempunyai kedudukan lebih rendah cenderung menggunakan negative politeness and deference strategy kepada orang yag lebih tinggi statusnya atau orang yang lebih tua dalam situasi formal dan tidak fomal. Orang yang berstatus tinggi (superior) cenderung menggunakan positive politeness kepada orang yang mempunyai status sosial lebih rendah (inferior) dalam situasi tidak formal. maksim modesty, agreement dan approbation maxims juga tetap di pertahankan dalam berkomunikasi. Penulis menyimpulkan bahwa bahasa Jawa dalam cerita pendek Rama-Sinta Muksa karya Widodo cenderung menggunakan aspek kesopanan. Para tokoh cerita cenderung menghormati lawan bicara berdasarkan status sosial dan perbedaan status.

Kata- kata kunci: Aspek kesopanan, bahasa Jawa

1. Pengantar

            Untuk bersikap sopan tidak mudah dalam beberapa bahasa.  Untuk bersiakap sopan tidak mudah karena kita tidak hanya belajar bahasa tapi juga belajar konteks sosial dan nilai budaya dalam masyarakat dimana bahasa itu di pakai. Nilai sosial dalam masyarakat tertentu berbeda dengan lainnya. Contoh, bersikap sopan dalam bahasa jawa perlu memepelajarai strata bahasanya. Penutur bahasa Jawa akan menggunakan tingkat kesopanan bahasa yang berbeda dengan orang yang sama ketika bertemu di jalan dan di pesta pernikahan. Status sosial, jarak sosial, solidaritas, dan tingkat keformalan dalam interaksi akan menentukan cara berbicara.

Bahasa Jawa mempunyai beberapa tingkatan. Poejosoedarna (1979: 13) mengatakan bahwa bahasa Jawa mempunyai tiga tingkatan yaitu; ngoko, krama madya dan krama inggil.  Sulit untuk memilih tingkat bahasa tersebut dalam komunikasi. Penutur harus mampu menerapkan bahasa ini sesuai dengan kaidah- kaidah kesopanan bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa ini di pengarui tempat dan pemakai bahasa. Holmes mengatakan (2001: 273), banyak masyarakat asia dan asia tenggara menggunakan bahasa sesuai perbedaan status.

Yule (1995: 59) mengatakan bahwa interaksi linguistik menunjukkan interaksi sosial. Berbicara interaksi, maka terkait dengan interaksi sosial dan kedekatan antara penutur dan pendengar. Hal ini ditentukan oleh pekerjaan dan pendidikan. Sehingga kenyataan ini memungkinkan untuk menggunakan perbedaan prinsip umum untuk bersikap sopan dalam masyarakat, seperti tactful, generous, modest dan sympathy.

Berdasarkan latarbelakang tersebut maka penulis akan menganalisis aspek politeness strategy yang dipakai dalam ungkapan bahasa jawa dalam kontek formal dan infromal, khususnya dalam cerita tradisional jawa. Penulis mempertimbangkan bahwa cerita tradisionl Jawa menggunakan beberapa tingkat kesopanan bahasa Jawa. Dalam makalah ini, penulis menganalisis aspek kesopanan dalam bahasa Jawa yang di pakai dalam cerita “Rama sinta Muksa karya Widodo”

2. Kajian Teori

Holmes (2001: 268) mengatakan bahwa untuk bersikap sopan secara linguistik tergantung pada hubungan antara penutur dan pendengar. Untuk bisa berbicara dengan sopan dalam sebuah masyarakat, penutur harus terlibat dalam hubugan sosial dalam tiga dimensi, yaitu solidaritas, status dan keformalan.  Ada enam aspek kesopanan. Penulis hanya akan membahas tiga aspek. Aspek itu adalah positive and negative politeness, strategy of showing politeness, dan politeness maxims.

  •  Kesopanan Positive (positive Politeness) and Kesopanan Negative (negative politeness)

Kesopanan (Politeness) bisa di klasifikasikan menjadi dua jenis. Holmes (2001: 268) menyatakan bahwa tiga dimensi melibatkan dasar perbedaan di antara dua jenis kesopanan.

  1. Kesopanan Positif (Positive politeness)

Positive politeness adalah orientasi solidaritas (solidarity oriented). Kesopanan ini menekankan pada sikap dan nilai. Contoh: seorang direktur berbicara pada anak buah. Dia memanggil anak buahnya dengan nama pertamanya (First Name (FN)). Ini adalah salah satu contoh positive politeness yang menunjukkan soidaritas (solidarity) dan mengurangi pebedaan status (minimizing status difference). Positive politeness adalah tindakan yang di lakukan untuk menjaga kedekatan antara penutur dan pendengar (Trudgil, 2003: 106).  Ketika melakukan kesopanan ini, seseorang akan menggunakan kata ganti (pronoun) untuk mewakili penutur dan pendengar dalam komunikasi.

  1. Kesopanan Negatif (Negative politeness)

Negative politeness adalah cara mengungkapkan diri seseorang sesuai dengan status sosial dan menghormati perbedaan status. Contoh, menggunaan nama akhir pada orang yang memiliki posisi lebih tinggi statusnya dan pada orang yang belum di kenal dengan baik. Trudgil (2003: 92) mengatakan negative politeness adalah tindakan yang dilakukan untuk menghormati lawan bicara. Hal ini bisa dijelaskan dengan contoh kalimat “ I am afraid, I cannot attend the party. Dalam kalimat ini, penutur mengatakan “I am affraid” untuk menjaga kesopanan.

2.2 Strategi Kesopanan (Politeness Strategies)

            Ada beberapa strategi dalam menunjukkan kesopanan. Yule (1995: 65-66) mengatakan bahwa politeness strategies bisa di klasifikasikan menjadi dua strategi, yaitu:

  1. Strategi solidaritas (Solidarity strategy)

Solidarity strategy umumnya digunakan oleh penutur untuk menunjukkan bentuk positive politeness. Starategi ini menekankan kedekatan antara penutur dan pendengar (lihat Yule, 1995: 65).  Startegi ini di gunakan oleh sekelompok orang atau penutur tunggal dalam situasi tertentu. Secara linguistik, strategi ini akan meibatkan informasi pribadi, nama panggilan, atau bahasa slang. Solidarity strategy akan di tandai dengan kata-kata seperti ‘we’ and ‘Let’s’, seperti dalam kalimat “party invitation, Common on, let’s go to the party.

  1. Deference strategy

Deference strategy adalah kecenderungan menggunakan positive politeness forms, menekankan closeness anatara penutur dan pendengar. Startegi ini biasanya digunakan oleh sekelompok orang atau sebuah pilihan dalam sebuah situasi tertentu. Deference strategy melibatkan kesopanan formal  (formal politeness). Deference strategy menekankan kemandirian penutur dan pendengar.

2.3 Maksim Kesopanan (Politeness maxims)

            Terkait dengan pembahasan politeness maxims, Leech dalam cutting (2002: 49) menyatakan bahwa ada enam politeness maxims; tact, generosity, approbation, modesty, agreement dan sympathy.

  1. Tact

Tact maxim menekankan pada pendengar dan menjaga status sosial dengan lawan bicara (minimize cost to other) dan lebih mmenghormati lawan bicara (maximize benefit to other). Bagian maksim pertama ini sesuai dengan pernyataan Brown and Levinson tentang negative politeness strategy of minimizing the imposition, and Bagian kedua merefleksikan positive politeness strategy of attending to the hearer’s interest (lihat Brown and Levinson, 1987: 61).

  1. Generosity

generosity maxim adalah kebalikan dari tact maxim karena menekankan pada penutur.

  1. approbation

Approbation maxim adalah meminimalkan penghargaan penutur dan memaksimalkan penghargaan lawan bicara. Bagian pertama maksim ini sama dengan  politeness strategy of avoiding disagreement. Bagian kedua maksim ini sesuai dengan positive politeness strategy membuat lawan bicara merasa nyaman dengan menunjukkan kedekatan.

  1. Modesty

Bertolak belakang dengan approbation,  modesty meminimalkan penghormatan diri dan memaksimalkan penghormatan lawan bicara (minimize praise of self’ and ‘maximize dispraise of self).

  1. Agreement

Agreement maxim meminimalkan ketidaksetujuan diri dengan lawan bicara (minimize disagreement between self) dan memaksimlkan pesetujuan dengan lawan bicara dan memaksimalkan persetujuan atau saling menghomati antara penutur dan pendengar (maximize agreement between self and other).  Ini sesuai dengan politeness strateginya brown dan Levinson.

  1. Sympathy

Sympathy maxim mengurangi ketidaksimpatian antar penutur dan memaksimalkan simpati antar penutur. Ungkapan ini Biasanya dipakia untuk congratulate, commiserate dan express condolences. Penutur sering memperhalus bahasa dengan majas euphemism.

3. Metode

            Dalam analisis ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Sumber data dari penelitian ini adalah teks cerita pendek tradisional. Teks cerita ini dalam bentuk dialog. Sumber data di ambil dari majalah “Penjebar Semangat”. Penulis mengambil dua fragmen dialog. Data penelitiannya adalah jenis aspek kesopanan yang meliputi; startegi kesopanan dan maksim kesopanan. Dalam analisis, penulis penulis menggunakan prosedur pengumpulan data dan analisis data sebagai berikut: Pertama, seleksi data, penulis memilih kalimat yang mengandung aspek kesopanan. Kedua, verifikasi data, penulis memverifikasi data dengan mengelompokkan kalimat kedalam jenis-jenis kesopanan dalam tabel. Ketiga, Deskripsi data, penulis mendeskripsikan data dengan menjelaskan berbagai jenis aspek kesopanan yang digunakan tokoh dalam cerita.

4. Pembahasan

            Dalam sub bab ini, penulis mendeskripsikan data dengan menggunakan prosedur yang telah disebutkan.  Setelah mengaalisis dialog, penulis membatasi analisisnya dalam dialog dari lima character. Ini terjadi di fragmen yang berbeda.

1. Aspek Kesopanan Bahasa Jawa Dalam Konteks Tidak Formal  Pada Cerita Pendek Rama-Sinta Moksa

            Adegan pertama, tokoh Ki Lurah, Togog dan Mbilung terlibat dalam percakapan. Mereka berbicara tentang kedatangan Leksmanawidagda (musuh mereka). Aspek politeness terjadi dalam konteks informal.

“Lonjong tebok playumu, menggeh- menggeh ambekanmu, ana apa gog, ana apa gog, ana opo gog?!” Ngaturi Uningo ki lurah. Ing lebeting wana ngriki wonten satriyo inkang andon lampah. Mbilung niki seksine.”

“Piro gog, satriyane?!”

“Yen satriyane naming setunggal. Nanging kula mboten pangling satriya niku sing asma Leksmana widagda, rayine sinatriya Rama sing kala emben mejahi sinuwun Prabu Rahwana suwargi. Rak ya ngono ta lung?!”

            “Inggih ki Lurah, leser eh anu leres ature kang togog.”

“Gedhe ganjarane sing diparingake sinuwun Prabu Bajulsengara yen aku bisa mateni satriya iki! Tuduhno gog, ana ngendi satriyane? Sarta cepakne dadung, dak senggarane macan satriya iki!!” ( Widodo in Penjebar Semangat, 06/2006: 31)

Beberap aspek kesopanan digunakan oleh tokoh cerita dalam dialog di atas. Hal ini bisa di jelaskan dalam tabel 1 berikut ini:

Table 1

NoAspectsKi LurahTogogMbilung
1PolitenessPositive and NegativeNegativeNegative
2Strategy (solidarity/ deference)Solidarity and deferenceDeferenceDeference
3Politeness maximsApprobation and SympathyTact and agreementApprobation and agreement

Tabel 1 menunjukkan bahwa  tokoh pertama (Ki lurah), menggunakan positive politeness, approbation maxim and solidarity strategy. Hal ini di tunjukkan pada ungkapan “.., ana apa gog, ana apa gog, ana opo gog?…”.  Sebagai orang yang mempunyai kedudukan diatas Togog, Ki Lurah memanggil Togog dengan menggunakan nama panggilannya untuk mengurangi perbedaan status dan menunjukkan kedekatan dalam situasi informal. Sebaliknya, dia menggunakan negative politeness dan deference strategy ketika dia menyebut atasannya dengan menggunakan sebutan kehormatan dalam situasi informal walauapun yang disebut tidak ada. Penjelasan ini disebutkan dalam ungkapan, “Gedhe ganjarane sing diparingake sinuwun Prabu Bajulsengara”. Dia juga meggunakan sympathy maxim ketika dia berbicara pada Togog. Hal ini di tunjukkan dalam ungkapanya “… Lonjong tebok playumu, menggeh-ambekanmu, ana apa gog, ana apa gog, ana opo gog?!…”.  Dalam ungkapan ini, dia ingin mengurangi kelelahanya Togog.

Tokoh cerita kedua (Togog), menggunakan deference strategy, tact and negative politeness untuk menunjukkan penghormatannya pada atasannya. Dalam situasi tidak formal. Dia menggunakan juukan (ki lurah) unuk memanggil atasannya. Ini di tunjukkan dalam ungkapannya “…Ngaturi Uningo ki lurah. Ing lebeting wana ngriki wonten satriya inkang andon lampah...”. Dia menggunakan maxim agreement ketika dia meminta persetujuan pada Mbilung. Seperti yang ditunjukkan dalam ungkapannya “…Rak ya ngono ta lung?…”.

Tokoh ketiga, Mbilung juga menggunakan negative politness and deference startegy dalam situasi tidak formal, Seperti yang di tunjukkan daam ungkapannya,  “…Inggih ki Lurah, leser eh anu leres ature kang togog…”.  Ungkapan ini juga menunjukkan bahwa Mbilung menghormati atasannya (maximizes praise of his superior) dan juga menghindari ketidaksetujuan pernyataannya Togog. Dia meyetujui pernyataannya Togog. Ini menunjukkan bahwa dia juga menggunakan  approbation and agreement maxim.

4. 2 Aspek Kesopanan Bahasa Jawa Dalam  Situasi Formal Pada Cerita Pendek Rama-Sinta Muksa

Aspek kesopnanan terjadi dalam konteks formal pada adegan kedua ketika Ramawijaya mengundang Leksmana ke istana kerajaan.  Ini bisa dilihat dalam kutipan berikut ini:

“Dhimas Leksmana, apa kaget siro ingsun timbale?!” “Dhuh kakang Prabu sesembahan kawula. Yayah kambengan tinanen ing ara-ara wiyar kasiliring samirana, ketir-ketir kumitir kejoting manah kula cawur kaliyan was-was. Nanging sareng marak wonten ing ngarso sang katong kados ayem tentrem pindha siniram ing tirta amerta, nun kawula nuwun.”

“Ngene yayi. Marmane jeneng para ingsun timbale marak. Pun kakang niyat utusan sira kalayan mbakyunira Rekyan Sinta. Supaya tumuju menyang telenge alas Dhandhaka. Pundhuten sanjata sekti kyai Gunawijaya sing keri ana kana!!”

“Dhuh kakang prabu. Saenget kula pun Gunawijaya rak sampun paduka angge nyirnaake Prabu Dasamuka ing Ngalengka. Nama mokal bilih kantun wonten wana Dhandaka.” “Bab iku naming samudana yayi. Sing baku, mabakyumu Ratu Rekyan Sinta sun tundhung saka kraton Ayodyapala, mula age buwangen menyang satengahing alas Dhandhaka!!” “Lepatipun kakang-mbok menapa Kankang Prabu?” “Dheweke ora luput, nanging pancen kudu mengkono!” (Widodo in Penjebar Semangat, 06/ 2006: 32)

Tokoh dalam cerita menggunakan beberapa aspek kesopanan. Aspek ini bisa di lihat dalam tabel 2 berikut ini:

Table 2

NoAspectsRama WijayaLeksmana
1PolitenessNegativeNegative
2Strategy (solidarity/ deference)DeferenceDeference
3Politeness maximsTactModesty

Tabel 2 menunjukkan aspek kesopanan yang dipakai para tokoh cerita.  Rama wijaya menggunakan negative politeness dan deference strategy dalam situasi formal ketika dia menyebut  yayi (sebuatan jawa untuk orang yang lebih muda)  pada Leksmana. Ini di tunjukkan dalam ungapannya, “…Dhimas Leksmana, apa kaget sira ingsun timbale?!, Ngene ya yayi and  bab iku naming samudana, yayi…”. ungkapan-ungkapan ini menunjukkan bahwa Rama ingin menghormati orang lain berdasarkan status sosial. Ungkapan ini juga menunjukkan bahwa Rama menggunakan tact maxim to minimize cost to other untuk mengurangi kesopanan terhadap orang lain dan untuk membuat orang lain lebih sopan.  

Seperti Rama, Leksmana juga menggunakan negative politeness dan deference strategy dalam situasi formal. Dia menunjukkan dalam ungkapannya “…Dhuh kakang Prabu sesembahan kawula, Dhuh kakang prabu. Saenget kula pun Gunawijaya rak sampun paduka angge nyirnaake Prabu Dasamuka ing Ngalengka, and Lepatipun kakang-mbok menapa Kankang Prabu?…”. Ungkapan ini dalam bahasa Jawa menunjukkan bahwa penutur ingin menghormati orang lain berdasarkaan status sosial. Selain itu, Leksmana juga menggunakan modesty maxim untuk merendahkan diri.  Maksim in terlihat ketika dia menyebut kawula pada dirinya sendiri. Ini ditunjukkan dalam ungkapannya “…Dhuh kakang Prabu sesembahan kawula…”

7. Kesimpulan

            Setelah menganalisis data, penulis menyimpulkan bahwa bahasa Jawa dalam cerita Rama-Sinta Moksa karya Widodo menggunakan beberapa aspek kesopanan. Dalam Analisis ditemukan bahwa orang yang mempunyai kedudukan lebih rendah cenderung menggunakan negative politeness and deference strategy kepada orang yag lebih tinggi statusnya atau orang yang lebih tua dalam situasi formal dan tidak fomal. Orang yang berstatus tinggi (superior) cenderung menggunakan positive politeness kepada orang yang mempunyai status sosial lebih rendah (inferior) dalam situasi tidak formal. maksim modesty, agreement dan approbation maxims juga tetap di pertahankan dalam berkomunikasi. Penulis menyimpulkan bahwa bahasa Jawa dalam cerita pendek Rama-Sinta Muksa karya Widodo cenderung menggunakan aspek kesopanan. Para tokoh cerita cenderung menghormati lawan bicara berdasarkan status sosial dan perbedaan status.

References :

Brown and Levinson. 1987. Politeness. Some universals in language usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Cutting, Joan. 2002. Pragmatics and Discourse. London and New York: Routledge.

Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics (second edition). London: Longman.

Poejoesoedarno, Soepomo dkk, 1979.Tingkat Tutur Bahasa jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dn pengembangaan bahasa Dept. Pendidikan dan Kebudayaan.

Trudgil, Peter. 2003. A Glossary of Sociolinguistics. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Yule, George, 1995. Pragmatics. Oxford New York: Oxford University Press.

Widodo, S, Wisnu,  24/ 06/ 2019, Rama-Sinta Muksa in Penjebar Semangat. pp 31-32

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.